Kamis, 09 Desember 2010
Ibu dan Bayi di Malam Natal
(Karya: Erwin Hartono, S.Pd)
Bunyi lonceng perayaan Natal malam ini bersamaan dengan nyanyian Malam Kudus bersahutan di gereja membuat aku terbangun dari mimpi. Ternyata aku seharian tidur di sebuah balai di sudut sebuah toko kecil milik pamanku yang hampir tutup. Kebetulan aku disuruh menjaga toko ini karena keluarga pamanku sedang pergi berlibur bersama keluarganya ke Medan.
Dari sudut toko ini aku melihat di luar sedang hujan rintik-rintik. Agaknya hujan ini sudah lama turunnya, sebab di depan toko ini air menggenang hampir menutup aspal jalan. Sejenak aku berdiam mengawasi ke seluruh deretan toko. Hanya sepi yang terlihat.
Seakan hujan ini belum juga akan berhenti. Kuambil inisiatif untuk menutupnya sebab sebagian toko sudah tutup pada hal baru saja pukul 18.30 WIB. Biasanya toko-toko di kawasan pasar ini tutupnya sekitar pukul 21.00 WIB.
Ketika hendak menutup pintu toko, tiba-tiba bola mataku terbelalak melihat ke sebuah emperan toko yang masih kosong karena belum dihuni. Di sana seorang ibu dengan kedua anaknya sedang berteduh.
Si ibu yang sedang menidurkan anaknya yang masih kecil dalam gendongannya. Dia mendekap dan berusaha tidak memberi kesempatan kepada dinginnya malam ini apalagi dalam suasana hujan seperti ini. Betapa kasih sayangnya membuat si anak diam tanpa bergerak.
Sementara anaknya yang lain yang menurut perkiraanku berumur tidak lebih dari lima tahun tengah asyik membuka-buka bungkusan. Anehnya setiap bungkusan yang dibukanya tidak ada apa-apa. Hingga akhirnya pada bungkusan yang terakhir, agak lama dipandangnya, tetap sama tidak ada isinya.
Setelah seluruh bungkusan dibuangnya semua, si anak itu kembali ke sisi kanan ibunya dan berusaha menyembunyikan tubuhnya di samping ibunya untuk memperoleh kehangatan. Terlihat tangan si ibu membelai kepala si anak. Dengan lembut diusapnya kepala anaknya itu.
Tubuh si anak semakin bergetar, sementara tangan-tangan kurus milik si ibu berusaha memberikan ketenangan. Lalu ibu itu mengeluarkan sebuah bungkusan dari plastik kresek yang bertulis KFC. Kotak pembungkus KFC itu diserahkannya kepada anaknya yang semakin menggigil kedinginan sambil menahan lapar.
Mataku ingin meloncat dari kelopaknya melihat peristiwa tersebut. Hatiku seolah tersayat lebar oleh pisau silet yang tertajam di dunia. Kucoba mengucek-ngucek mataku, tetapi tetap tidak berubah. Anak itu memakan kota bungkusan KFC.
Dia memakan tepat pada lukisan yang ada paha ayam dan nasinya. Kotak bungkusan KFC itu habis dilahapnya. Si ibu hanya bisa tersenyum sambil di bola matanya buliran air siap mengalir.
Di tempat aku berdiri hanya bisa seperti patung. Kebodohan atau keterkejutan pandangan membuat aku hanya berdiam terpukau. Seperti menyaksikan kejuaran tinju dunia Chris Jhon.
Tanpa sadar tragedi kehidupan di depan mataku ini di awasi beberapa ekor kucing dan tikus yang keluar dari selokan mencari makan. Tikus-tikus selokan itu begitu gemuknya, sangat berbeda dengan nasib si anak dan ibunya yang sedang berteduh di emper toko itu.
Bahkan kucing yang sedang melintas di dekatnya tidak bisa berbuat banyak ketika tikus-tikus ini berebut sampah-sampah dan makanan basi di dalam tong sampah itu.
Si anak yang berda di samping ibunya itu ternyata sama dengan diriku sedang menyaksikan ulah si tikus dan kucing itu. Di wajah dan tatap mata anak itu menggambarkan keinginan berebut makanan basi dan sisa-sisa di dalam tong sampah itu.
Nurani kemanusiaannya membuat si anak hanya mampu menelan air ludah. Tetapi itu tidak membuatnya berdiam diri. Semakin dia memandang tikus-tikus yang berebut makanan itu bersama kucing di balik tong sampah membuat air liurnya membasahi pipinya.
Dia terlihat semakin melototkan mata ke arah tong sampah, tempat tikus-tikus dan kucing berebut makanan. Seolah berusaha membunuh sifat kemanusiaannya. Dari sini terlihat matanya yang semakin ingin keluar memperhatikan ulah tikus yang berebut makanan sisa.
Sejurus kemudian, si anak sudah berada di balik tong sampah. Dia mengusir tikus-tikus dan kucing yang berada di sana. Kini dia menjadi penguasa tunggal dan berusaha meraih makanan sisa yang terdapat di balik tong sampah itu.
Makanan sisa itu langsung dilahapnya tanpa kenal jijik. Pada hal makan sisa di balik tong sampah itu sudah bercampur lumpur dan kotoran. Si ibu tidak bisa berbuat banyak dan hanya diam mengawasi anaknya dari tempatnya duduk.
Setelah puas mencari makanan sisa dari balik tong sampah itu si anak mendekati ibunya dan membaringkan tubuhnya yang kecil dan kurus kerempeng itu. Tidak berapa lama dia sudah pulas.
Tiba-tiba si ibu melirik ke dalam gendongannya. Setelah di tatapnya dalam-dalam anaknya di dalam gendongan, lalu dia membuka gedongan terbuat dari kain panjang tersebut dan menidurkan anaknya di lantai teras toko itu.
“Gila betul ibu, itu,” gumam hatiku dari seberang toko. “Bukankah lantai semen toko itu dingin.”
Ibu itu menuju ke arah tong sampah, seolah mencari sesuatu di sana. Apakah dia mencari makanan sisa seperti anaknya tadi. Mungkin akan diberinya nanti kepada anak bayinya itu.
Ternyata dia hanya membawa kardus sebesar bayinya. Setelah dibukanya kardus itu, lalu bayinya di masukkan. Sambil menangis, lengan si anak dilipatnya. Dan mulailah buliran air dari matanya cukup deras membasahi pipi si ibu yang kurus itu.
Dari tempatku berdiri ini jelas terlihat wajah si ibu, di wajahnya masih menyisahkan goresan kecantikannya. Walau tubuhnya kurus dan usianya tidak muda lagi, gurat-gurat kecantikkannya masih jelas terlihat dari sini.
Mataku berusaha menyelidik perbuatan ibu ini. Sambil menduga-duga, kutatap tajam ke arah mereka. Anak bayinya itu sama sekali tidak bergerak. Lama juga aku memfokuskan tatapan ke arah bayi itu. Sama sekali tidak kulihat nafas turun naik dari tangan yang dilipat ibunya di atas perut si anak.
“Benarkah anak itu meninggal. Iya, bayi di gedongan si ibu tadi meninggal kelaparan.”
Loncong gereja malam Natal yang diiringi lagu Malam Mudus mengiringi tragedi ini. Kini air mataku yang tak terbendung. Betapa bodohnya, aku hanya mampu berdiri diam di sini menyaksikan semua itu.
Betapa tololnya aku, kalau saja tadi kuberikan nasi atau susu sekedarnya kepada bayi itu, mungkin saja bisa selamat. Pada hal toko pamanku ini menjual keperluan pokok rumah tangga, mulai beras hingga susu.
Kalau tadi kuambil dan berikan kepada ibu itu tentu kejadiannya tidak seperti ini. Toh kalau kuambil sekaleng susu, pamanku tak akan tahu. Oh, aku menyesal sekali sekarang. Kenapa hanya bisa menonton?***
Komentar
Posting Komentar