Sejak ditinggal mati suaminya, Mak Minah-lah yang bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya. Meskipun sudah tua, Mak Minah masih bersemangat dan tekun bekerja.
Setiap pagi, ia sudah bangun, memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah beres, Mak Minah segera berangkat ke hutan untuk mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Hasil penjualannya itulah yang dipakai untuk memenuhi kebutuhannya dan ketiga anaknya.
Ketiga anak Mak Minah masih kanak-kanak. Mereka sangat nakal dan pemalas. Sehari-hari mereka hanya bermain. Mereka tidak pernah membantu emaknya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Mereka tidak merasa iba melihat emaknya setiap hari bekerja keras membanting tulang sendirian untuk menghidupi mereka. Bahkan, mereka sering membantah nasihat emaknya hingga membuat Mak Minah bersedih.
Pada suatu sore, ketiga anak Mak Minah sedang asyik bermain tidak jauh dari rumah mereka.
“Utuh, Ucin, Diang… !” teriak Mak Minah memanggil ketiga anaknya. Meskipun mereka telah mendengar panggilan emaknya, ketiga anak itu diam saja.
“Anak-anakku, pulanglah! Hari sudah sore,” lanjut Mak Minah.
Ketiga anak itu masih asyik bermain tanpa menghiraukan seruan emaknya. Tak lama kemudian, Mak Minah kembali memanggil mereka.
“Utuh, Ucin, Diang…! Pulanglah! Hari sudah gelap. Hari ini Emak kurang enak badan. Masaklah untuk makan malam!” seru Mak Minah.
Usai berseru kepada ketiga anaknya, Mak Minah kembali merebahkan tubuhnya yang lemas ke pembaringan. Setelah menunggu beberapa saat, ketiga anaknya tetap saja asyik bermain. Mereka tidak menghiraukan panggilan Mak Minah. Beberapa saat menunggu, ketiga anaknya tidak mau berhenti bermain. Akhirnya, Mak Minah pergi ke dapur untuk memasak, meskipun badannya sangat lemas.
Tak berapa lama, makanan sudah siap. Mak Minah kembali memanggil ketiga anaknya.
“Utuh, Ucin, Diang… ! Pulanglah, Nak! Makan malam kalian sudah Emak siapkan.”
Setelah mendengar makan malam mereka siap, baru mereka beranjak dan berhenti bermain. Lalu, ketiga anak tersebut, langsung menuju ke dapur menyantap makanan yang sudah disiapkan emaknya. Dengan lahapnya, mereka menghabiskan semua makanan itu tanpa menyisakan sedikit pun untuk emaknya. Usai mereka makan, bukannya membantu emaknya mencuci piring, malah mereka kembali bermain.
Malam pun semakin larut. Sakit Mak Minah semakin parah. Seluruh badannya terasa pegal-pegal dan sangat lemah karena kelelahan bekerja seharian.
“Utuh, Ucin, Diang… ! Tolong pijitin Emak, Nak!” rintih Mak Minah memanggil anaknya.
Tapi, anak-anaknya pura-pura tidak mendengar. Mereka terus saja bermain hingga larut malam tanpa mengenal waktu.
Mak Minah sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali meratapi nasibnya.
“Ya Tuhan, tolonglah hamba! Sadarkanlah ketiga anak-anakku, agar mereka mau peduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” Mak Minah berdoa sambil meneteskan air mata. Usai berdoa, Mak Minah pun tertidur lelap.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mak Minah sudah bangun memasak nasi dan lauk yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, tanpa sepengetahuan anaknya, Mak Minah pergi ke tepian sungai di dekat gubuknya. Ia mendekati sebuah batu yang konon bisa berbicara seperti manusia. Batu itu juga bisa membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.
Di depan batu itu, Mak Minah berlutut dan memohon kepada batu itu agar menelan dirinya.
“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya sudah tidak sanggup lagi hidup bersama ketiga anak saya yang tidak mau mendengar nasihat,” pinta Mak Minah.
“Apakah engkau tidak menyesal, Mak Minah?” jawab Batu Batangkup.
“Lalu, bagaimana nasib anak-anakmu?” Batu Batangkup kembali bertanya.
“Biarlah mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka juga sudah tidak mau peduli pada emaknya,” jawab Mak Minah.
“Baiklah, jika itu yang engkau inginkan,” kata Batu Batangkup.
Dalam waktu sekejap, Batu Batangkup menelan tubuh Mak Minah dan hanya menyisakan rambutnya yang panjang hingga masih tampak di luar.
Sementara itu, ketika hari menjelang sore, ketiga anak Mak Minah pulang dari bermain. Mereka langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan Mak Minah. Mereka heran, karena emak mereka belum juga pulang. Karena melihat persediaan makanan masih banyak, mereka tetap tidak peduli dengan emak mereka.
Menjelang hari kedua, persediaan makanan mereka sudah habis. Sementara Mak Minah belum juga pulang ke rumah. Ketiga anaknya pun kebingungan mencari Mak Minah karena mereka sudah kelaparan. Setelah mencari ke sana ke mari, mereka tidak menemukan Mak Minah.
“Maafkan kami, Emak! Kami sangat menyesal menyiakan-nyiakan Emak…,” ratap ketiga anak tersebut. Hingga larut malam, mereka terus meratap dan menangis karena kelaparan. Tapi, karena kecapaian seharian bermain, akhirnya mereka pun tertidur lelap.
Keesokan harinya, ketiga anak tersebut kembali mencari emak mereka. Setelah menyusuri sungai yang tak jauh dari tempat tinggal mereka, sampailah mereka di depan Batu Batangkup. Alangkah terkejut ketika mereka melihat rambut emaknya terurai di sela-sela Batu Batangkup.
“Wahai, Batu Batangkup! Keluarkanlah Emak kami dari perutmu. Kami membutuhkan Emak kami,” pinta ketiga anak itu.
Batu Batangkup diam saja. Tapi ketiga anak itu terus meratap memohon agar emak mereka dilepaskan.
“Tidak! Kalian hanya membutuhkan emak kalian pada saat lapar. Kalian tidak pernah mau membantu dan mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup.
Ketiga anak itu pun terus meratap dan menangis.
“Batu Batangkup! Kami berjanji untuk membantu emak dan mematuhi nasihat emak kami,” jawab Utuh menangis.
“Iya, Batu Batangkup, kami berjanji,” sambung Uci dan Diang, lalu keduanya turut menangis.
“Baiklah, emak kalian akan aku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Tetapi jika kalian mengingkari janji, emak kalian akan kutelan kembali,” kata Batu Batangkup mengancam.
Mereka pun sepakat dengan perjanjian itu. Batu Batangkup kemudian mengeluarkan Mak Minah dari perutnya. Utuh, Ucin dan Diang segera memeluk Mak Minah.
“Maafkan Utuh, Emak! kata Utuh minta maaf. “Maafkan Uci juga, Mak! Uci berjanji akan mematuhi nasihat Emak,” sambung Uci.
“Iya, Mak! Diang juga minta maaf. Diang berjanji akan membantu Emak!” kata Diang.
“Sudahlah, Anakku! Kalian sudah Emak maafkan,” kata Mak Minah dengan haru.
Setelah itu, mereka pun pulang dengan perasaan gembira, karena mereka bisa berkumpul kembali.
Sejak saat itu, setiap hari, ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Utuh dan Uci membantu emaknya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. Sementara Diang, sibuk di rumah menyiapkan makanan untuk emak dan kedua abangnya. Mak Minah sangat gembira dan bahagia melihat perubahan perilaku anaknya.
Namun sayang, kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa hari. Perilaku ketiga anaknya tersebut kembali berubah. Justru, mereka semakin nakal dan pemalas. Utuh dan Uci tidak pernah lagi membantu emaknya mencari kayu bakar. Demikian pula Diang, ia tidak pernah memasak di rumah. Bahkan, mereka semakin berani membantah nasihat emak mereka. Hal itu membuat hati Mak Minah semakin sedih.
Pada suatu malam, Mak Minah memasak nasi dan lauk cukup banyak. Rupanya, Mak Minah sudah tidak tahan melihat perilaku anaknya. Pada saat tengah malam, di saat ketiga anaknya tertidur lelap, Mak Minah ingin kembali ke Batu Batangkup. Sebelum berangkat, Mak Minah mencium dan menyelimuti anaknya satu per satu.
Dengan perasaan sedih, Mak Minah meninggalkan ketiga anaknya. Di depan Batu Batangkup, Mak Minah berlutut dan memohon, “Wahai, Batu Batangkup! Telanlah saya kembali. Mereka benar-benar tidak mau menghormatiku lagi,” kata Mak Minah pasra.
Tanpa menunggu lama, Batu Batangkup pun menelan Mak Minah.
Keesokan harinya, ketiga anaknya kembali bermain seperti biasanya. Mereka tidak menghiraukan emaknya. Dikiranya, emaknya pergi ke hutan mencari kayu. Yang penting bagi mereka, saat lapar makanan sudah siap. Menjelang sore hari, Mak Minah belum pulang ke rumah. Mereka kemudian tersadar, ternyata mereka telah melanggar janji yang pernah mereka sepakati untuk tidak nakal lagi.
Tanpa berpikir panjang, ketiga anak itu segera berlari ke Batu Batangkup.
“Maafkan kami, Batu Batangkup! Kami sangat menyesal. Keluarkanlah emak kami dari perutmu!” ratap ketiga anak itu sambil menangis.
“Kalian memang anak nakal. Kali ini aku tidak akan memaafkan kalian,” jawab Batu Batangkup dengan kesal.
Batu Batangkup kemudian menelan ketiga anak itu. Setelah tubuh ketiga anak itu sudah masuk di dalam perutnya, Batu Batangkup itu pun masuk ke dalam tanah. Sampai sekarang Batu Batangkup itu tidak pernah muncul lagi.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral tersebut di antaranya sifat pemalas, nakal dan suka membantah nasihat orang tua. Ketiga sifat ini tercermin pada sifat Utuh, Uci dan Diang. Ketiga anak tersebut sangat nakal dan tidak mau membantu emaknya yang sudah tua untuk mencari nafkah. Bahkan, mereka berani membantah nasihat emaknya. Ketiga sifat yang dimiliki anak tersebut tidak dapat dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi orang Melayu, ketiga sifat tersebut termasuk sifat-sifat yang tercela dan sangat dipantangkan.
Bagi mereka, orang yang malas, berlalai-lalai, dan tidak tekun diangap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak tahu akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, orang yang memiliki sifat ini lazimnya dipandang rendah, bahkan dilecehkan oleh masyarakat. Demikian pula sifat suka membantah orang tua, sangat dipantangkan dalam kehidupan orang Melayu.
Banyak ungkapan Melayu yang menyebutkan mengenai sifat-sifat yang dipantangkan tersebut. Mengenai sifat pemalas, dikatakan:
makan berpeluh
berbeban mencari yang ringan,
makan mencari yang sedap
apa tanda orang pembangkang,
orang membujur ia melintang
kemana pergi dibenci orang
(Disarikan dari histori.id - Legenda Batu Betangkup)
Komentar
Posting Komentar